cctvjalanan.web.id Tren fotografi jalanan terus meningkat. Banyak orang mengabadikan momen spontan di ruang publik: dari ekspresi warga hingga suasana perkotaan. Namun, muncul perdebatan baru tentang batas antara kebebasan berekspresi dan hak privasi.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, menegaskan fotografer jalanan wajib mematuhi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Aturan ini melindungi hak individu atas data pribadi, termasuk foto atau citra diri.
Menurutnya, mengambil gambar orang lain tanpa izin bisa dianggap melanggar privasi. Apalagi jika foto tersebut disebarluaskan di media sosial tanpa persetujuan. Ia mengingatkan, hak seseorang atas citra dirinya tetap berlaku, bahkan ketika berada di ruang publik.
Ruang Publik Bukan Ruang Bebas
Banyak fotografer beranggapan memotret di tempat umum otomatis legal. Padahal, hal itu tidak sepenuhnya benar. Sukamta menegaskan, setiap individu tetap memiliki hak privasi, meski berada di ruang terbuka.
“Ruang publik bukan berarti bebas dari perlindungan hukum,” katanya. Orang tetap berhak menentukan bagaimana gambarnya digunakan. Jika foto seseorang disebarluaskan tanpa izin, terutama untuk kepentingan komersial atau konten media sosial, maka tindakan itu dapat dianggap melanggar UU PDP.
Pandangan ini selaras dengan semangat undang-undang yang mengutamakan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.
Perlindungan Data Pribadi dalam Hukum
UU Perlindungan Data Pribadi menjelaskan bahwa foto dan video yang menampilkan seseorang secara jelas termasuk dalam kategori data pribadi. Artinya, publikasi atau penyebarannya memerlukan persetujuan dari pihak yang difoto.
Undang-undang tersebut juga mengatur sanksi administratif dan pidana bagi pihak yang melanggar. Dengan kata lain, fotografer harus berhati-hati, bukan hanya ketika mengambil gambar, tetapi juga saat mengunggah hasil karyanya.
Sukamta menekankan bahwa aturan ini tidak bertujuan membatasi kreativitas. Tujuannya agar karya fotografi tetap menghormati martabat dan hak setiap individu.
Etika dalam Fotografi Jalanan
Selain aspek hukum, fotografer juga perlu menjunjung etika profesi. Dalam dunia fotografi, meminta izin kepada subjek sebelum memotret adalah bentuk penghormatan terhadap manusia.
Bagi fotografer profesional, etika ini sudah menjadi bagian dari standar kerja. Mereka sadar, tidak semua orang merasa nyaman difoto. Komunikasi sederhana bisa membuat proses pemotretan lebih hangat dan hasilnya lebih natural.
Sukamta mengimbau komunitas fotografer aktif menyebarkan edukasi tentang etika privasi digital. “Fotografi yang baik bukan hanya soal teknik, tetapi juga soal rasa hormat terhadap sesama,” ujarnya.
Risiko Foto Tanpa Izin
Di era digital, foto bisa menyebar dengan sangat cepat. Sebuah potret candid yang tampak sepele bisa berubah menjadi sumber masalah serius jika disalahgunakan. Banyak kasus menunjukkan seseorang menjadi viral tanpa izin, lalu menerima komentar negatif dan tekanan sosial.
Kondisi seperti ini bukan hanya merugikan secara psikologis, tetapi juga melanggar hak privasi. UU PDP memberikan perlindungan hukum bagi korban penyebaran foto tanpa izin.
Peringatan ini tidak hanya berlaku untuk fotografer profesional. Siapa pun yang mengambil dan mengunggah foto orang lain di media sosial tetap tunduk pada aturan perlindungan data pribadi.
Dilema di Lapangan
Penerapan aturan ini memang tidak mudah. Di ruang publik, aktivitas manusia sangat dinamis. Fotografer sering menghadapi dilema antara menangkap momen menarik atau menghindari pelanggaran privasi.
Beberapa pakar menyarankan agar fotografer memahami konteks pemotretan. Jika seseorang menjadi bagian dari keramaian umum, seperti konser, festival, atau acara publik, pemotretan bisa dianggap sah. Namun, bila fokusnya hanya pada individu dan hasilnya akan dipublikasikan, maka izin tetap wajib diminta.
Pendekatan kontekstual seperti ini bisa menjaga keseimbangan antara kebebasan berkreasi dan kepatuhan hukum.
Tantangan di Era Media Sosial
Media sosial memperluas tantangan baru. Setiap orang kini bisa menjadi fotografer dan penerbit dalam waktu bersamaan. Unggahan foto yang melibatkan orang lain tanpa izin dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan sosial.
Karena itu, penting bagi masyarakat memahami prinsip dasar privasi digital. Menghormati izin dan kenyamanan orang lain adalah langkah kecil yang berdampak besar. Hal ini tidak hanya melindungi individu, tetapi juga menciptakan budaya digital yang lebih sehat.
Menumbuhkan Kesadaran Kolektif
Kesadaran tentang privasi seharusnya tumbuh bersama perkembangan teknologi. Fotografer, influencer, jurnalis, dan warga biasa perlu memahami bahwa setiap gambar yang diambil memiliki tanggung jawab moral.
Sukamta menegaskan, pendidikan publik tentang UU PDP sangat penting. Ia mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk memperluas sosialisasi agar masyarakat tahu batas-batasnya dalam penggunaan data pribadi, termasuk foto.
Menurutnya, kepatuhan terhadap UU PDP bukan sekadar urusan hukum, tapi juga etika. Dengan menghormati privasi, fotografer bisa berkarya tanpa merugikan orang lain.
Kesimpulan
Fotografi jalanan adalah bentuk seni yang menangkap keindahan kehidupan sehari-hari. Namun, di era modern, kebebasan berekspresi harus disertai kesadaran hukum dan etika.
DPR RI melalui Sukamta mengingatkan, setiap fotografer wajib mematuhi UU Perlindungan Data Pribadi. Pengambilan foto tanpa izin dapat menimbulkan pelanggaran hukum jika disebarluaskan tanpa persetujuan.
Karya yang baik tidak hanya indah secara visual, tapi juga menghormati manusia di dalamnya. Dengan memahami hukum dan etika, fotografer dapat terus berkarya secara bebas, kreatif, dan bertanggung jawab.presi, melainkan menyempurnakan makna dari setiap bidikan kamera yang bertanggung jawab.

Cek Juga Artikel Dari Platform 1reservoir.com
