Video Viral Picu Kecaman Publik
Media sosial kembali menjadi ruang yang memperlihatkan betapa cepatnya sebuah peristiwa menyedot perhatian publik. Kali ini, sorotan tertuju pada seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Morowali Utara (Morut), Sulawesi Tengah, yang videonya viral setelah melakukan siaran langsung di TikTok bersama seorang remaja penyandang disabilitas.
Video yang beredar luas sejak Rabu, 17 Desember 2025, menuai kecaman dari warganet. Dalam siaran langsung tersebut, oknum ASN bernama Sarmoli terlihat mengenakan seragam Korpri saat berinteraksi dengan remaja tersebut. Sejumlah netizen menilai ucapan dan gestur yang muncul dalam video tersebut bernuansa mengejek dan tidak sensitif terhadap kondisi disabilitas.
Kecaman pun mengalir deras. Banyak pihak menyoroti tindakan tersebut sebagai bentuk ketidakpekaan, terlebih dilakukan oleh seorang aparatur negara yang seharusnya menjadi teladan dalam bersikap dan berperilaku, baik di ruang publik maupun di media sosial.
Tekanan Publik dan Gelombang Kritik
Setelah video tersebut viral, Sarmoli menjadi sasaran kritik dari berbagai kalangan. Netizen mengecam keras tindakan yang dinilai tidak pantas, terutama karena dilakukan saat jam kerja dan dengan mengenakan atribut resmi Korpri.
Isu ini kemudian berkembang menjadi diskusi yang lebih luas mengenai etika ASN dalam bermedia sosial. Publik mempertanyakan bagaimana standar perilaku aparatur negara, khususnya ketika berada di ruang digital yang dapat diakses siapa saja dan berdampak luas.
Tidak sedikit pula warganet yang menuntut adanya sanksi tegas agar kejadian serupa tidak terulang. Di sisi lain, sebagian masyarakat juga mengingatkan pentingnya proses klarifikasi yang adil dan ruang bagi yang bersangkutan untuk bertanggung jawab secara terbuka.
Permohonan Maaf Disampaikan Secara Terbuka
Pasca viral dan diserang kritik publik, Sarmoli akhirnya menyampaikan klarifikasi dan permohonan maaf. Klarifikasi tersebut disampaikan melalui sebuah video percakapan yang diunggah dan diterima sejumlah media pada Jumat, 19 Desember 2025.
Dalam video tersebut, Sarmoli terlihat emosional dan mengakui kesalahannya. Ia menyampaikan permohonan maaf secara langsung kepada remaja penyandang disabilitas bernama Cahyo, serta kepada masyarakat luas yang merasa tersinggung atas tindakannya.
“Supaya semuanya bisa clear, bisa teratasi, sekali lagi saya mau minta maaf,” ucap Sarmoli dengan suara bergetar.
Ia mengakui bahwa candaan yang ia lontarkan dalam siaran langsung tersebut dilakukan tanpa kesadaran akan dampak yang ditimbulkan. Menurutnya, niat awal hanya bercanda, namun ia menyadari bahwa tindakan tersebut keliru dan tidak pantas.
Sikap Dewasa dari Cahyo Tuai Apresiasi
Di tengah suasana permohonan maaf tersebut, sikap Cahyo justru menjadi perhatian publik. Remaja penyandang disabilitas itu menunjukkan kedewasaan dalam merespons situasi yang dialaminya.
Alih-alih memperpanjang konflik, Cahyo menerima permohonan maaf tersebut dan menyampaikan pesan yang menyejukkan. Sikapnya menuai pujian dari banyak pihak karena dinilai mencerminkan empati dan kebesaran hati.
“Intinya bapak harus kuat, pasti semua orang itu punya salah, Pak,” ujar Cahyo dalam video tersebut.
Respons Cahyo dinilai sebagai cerminan kedewasaan emosional dan menjadi pengingat bahwa penyandang disabilitas bukan objek belas kasihan, melainkan individu yang memiliki hak, martabat, dan suara yang setara.
Refleksi Etika ASN di Ruang Digital
Kasus ini memicu refleksi yang lebih luas mengenai etika pejabat publik, khususnya ASN, dalam menggunakan media sosial. Di era digital, batas antara ruang pribadi dan ruang publik semakin tipis. Setiap tindakan, ucapan, dan ekspresi dapat direkam, disebarkan, dan ditafsirkan secara luas.
Sebagai aparatur negara, ASN memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar. Mereka tidak hanya membawa nama pribadi, tetapi juga citra institusi dan negara. Oleh karena itu, perilaku di media sosial perlu mencerminkan nilai-nilai profesionalisme, empati, dan penghormatan terhadap sesama.
Pakar komunikasi publik menilai bahwa literasi digital bagi ASN menjadi kebutuhan mendesak. Pemahaman tentang dampak konten, sensitivitas isu sosial, serta etika komunikasi perlu terus diperkuat agar kejadian serupa tidak terulang.
Isu Disabilitas dan Pentingnya Sensitivitas Sosial
Kasus ini juga membuka kembali diskusi tentang perlindungan dan penghormatan terhadap penyandang disabilitas. Dalam masyarakat yang inklusif, penyandang disabilitas harus diperlakukan dengan hormat, tanpa stigma, ejekan, atau perlakuan yang merendahkan.
Undang-undang telah menjamin hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak atas martabat dan perlakuan yang setara. Oleh karena itu, candaan atau konten yang berpotensi merendahkan kelompok rentan dapat berdampak serius, baik secara psikologis maupun sosial.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa sensitivitas sosial bukan hanya soal niat, tetapi juga soal dampak. Apa yang dianggap bercanda oleh satu pihak, bisa menjadi luka bagi pihak lain.
Pembelajaran bagi Semua Pihak
Permohonan maaf yang disampaikan Sarmoli dan sikap dewasa Cahyo memberikan pelajaran penting bagi masyarakat luas. Kesalahan dapat terjadi pada siapa saja, tetapi tanggung jawab dan keberanian untuk meminta maaf secara terbuka merupakan langkah awal untuk memperbaiki keadaan.
Bagi institusi pemerintah, kasus ini dapat menjadi momentum evaluasi dan penguatan pembinaan etika bagi ASN. Sementara bagi masyarakat, kejadian ini menjadi refleksi bersama tentang pentingnya empati, saling menghormati, dan bijak bermedia sosial.
Ke depan, diharapkan ruang digital dapat menjadi tempat yang lebih aman, inklusif, dan manusiawi bagi semua pihak, tanpa kecuali.
Baca Juga : Darurat Sampah di Tangerang Selatan, Jalanan Dipenuhi Tumpukan Limbah dan Picu Keluhan Warga
Jangan Lewatkan Info Penting Dari : 1reservoir

