cctvjalanan.web.id Pukul setengah enam pagi, langit Jakarta masih redup ketika Otong, pria berusia empat puluh tahun, sudah bersiap di atas sepeda motornya. Dari rumah kontrakannya di Grogol, ia meluncur menuju depot Sejuta Jiwa di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan. Di sanalah tempat para pedagang kopi keliling seperti dirinya mengambil perlengkapan dan bahan dagangan setiap hari.
Lalu lintas ibu kota belum padat, tapi ia tetap melaju cepat. Waktu adalah segalanya. “Kalau telat sedikit, gerobak yang bagus keburu diambil orang,” ujarnya. Bagi Otong, datang lebih awal bukan sekadar kebiasaan — itu adalah pertaruhan hidup.
Setiap hari, puluhan pedagang kopi keliling mengantre di depot itu. Gerobak mereka menggunakan tenaga listrik, tapi tidak semuanya berfungsi baik. Kadang, Otong harus rela memakai gerobak yang tuas penggeraknya rusak. “Kalau dapat yang macet, ya harus digowes,” katanya sambil tersenyum kecut.
Gerobak dan Harapan yang Rapuh
Perjuangan mendapatkan gerobak yang layak pakai sudah menjadi ritual pagi bagi Otong. Sebelum matahari benar-benar terbit, ia berharap bisa membawa pulang satu unit yang masih kuat digunakan seharian. Gerobak yang prima bisa berarti penjualan lancar, tapi kalau rusak, pendapatannya bisa berkurang setengah.
Bukan hanya karena alat yang terbatas, tapi juga karena persaingan sesama pedagang semakin ketat. Dalam sehari, ratusan penjual kopi keliling menyebar di berbagai sudut kota. Dari halte Transjakarta hingga depan perkantoran, mereka berebut tempat strategis. Siapa datang duluan, dia yang berhak berdagang di titik terbaik.
“Kadang baru mau buka termos, udah ada yang jualan di seberang,” ujar Otong. Meski begitu, ia mengaku tak pernah mau bersitegang. Bagi pria beranak dua itu, rezeki sudah ada yang atur — yang penting kerja keras dan tidak menyerah.
Segelas Kopi, Sejuta Cerita
Gerobak sederhana milik Otong hanya berisi beberapa bahan utama: kopi sachet, air panas dalam termos besar, gula, dan sedikit cemilan ringan. Namun, dari sanalah ia menggantungkan hidup. Setiap gelas kopi dijual antara lima hingga tujuh ribu rupiah. Keuntungannya tipis, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan harian keluarganya.
Setiap pelanggan punya cerita sendiri. Ada sopir ojek daring yang mampir sebentar untuk menyeruput kopi hitam panas sebelum berangkat mencari order. Ada pula karyawan kantoran yang datang tiap pagi, membeli kopi susu dengan tambahan gula sedikit lebih banyak dari biasanya. “Kalau udah langganan, saya hafal pesanannya,” kata Otong dengan bangga.
Ia tidak hanya menjual kopi, tetapi juga menawarkan tempat singgah singkat di tengah kerasnya hidup kota. Banyak pelanggannya datang bukan karena rasa kopi, tapi karena keramahan Otong yang selalu menyapa dengan senyum.
Hidup di Antara Roda Gerobak
Meski tampak sederhana, kehidupan pedagang kopi keliling seperti Otong penuh ketidakpastian. Hujan deras bisa membuatnya kehilangan penghasilan sehari penuh. Kadang, saat cuaca terlalu panas, penjualan juga menurun karena orang enggan minum minuman panas.
Namun, tantangan terberatnya bukan cuaca, melainkan biaya operasional yang terus meningkat. Harga bahan bakar untuk memanaskan air, biaya sewa tempat tinggal, dan kebutuhan anak-anaknya semakin besar. Ia mengaku tidak punya tabungan tetap. “Kalau ada lebih, paling buat bayar sekolah anak,” tuturnya pelan.
Beberapa kali Otong sempat terpikir mencari pekerjaan lain. Namun, dengan latar belakang pendidikan yang terbatas, ia tahu bahwa peluang tidak banyak. “Saya cuma tahu jualan, itu aja yang bisa saya andalkan,” katanya. Meski penghasilannya pas-pasan, ia merasa bangga bisa memberi nafkah dari hasil kerja keras sendiri.
Jakarta dan Keteguhan Para Penjual Jalanan
Pemandangan seperti Otong bukan hal asing di Jakarta. Di setiap sudut jalan, penjual kopi, gorengan, hingga bubur ayam menjadi bagian dari denyut nadi kota. Mereka adalah pekerja keras yang menopang kehidupan sehari-hari masyarakat urban.
Pakar sosial menilai fenomena ini sebagai cerminan ekonomi rakyat kecil yang tetap bertahan di tengah modernisasi. Di era di mana kafe besar bermunculan di setiap mal, pedagang kopi keliling tetap punya tempat tersendiri di hati masyarakat. Keaslian, kesederhanaan, dan kehangatan menjadi nilai yang tidak bisa digantikan mesin espresso.
Otong sadar ia mungkin tidak akan pernah punya kafe sendiri. Namun, ia percaya bahwa secangkir kopi yang disajikan dengan ketulusan bisa memberi semangat bagi banyak orang. “Kalau lihat pelanggan tersenyum, rasanya capek hilang,” ucapnya sambil menyiapkan kopi hitam untuk pembeli pertamanya pagi itu.
Harapan dari Jalanan
Di tengah riuh kota yang tak pernah tidur, Otong terus menjalani rutinitasnya. Setiap pagi, ia masih akan menembus jalanan Jakarta, menyalakan gerobak kecilnya, dan memulai hari dengan doa sederhana agar dagangannya laris.
Baginya, hidup memang seperti secangkir kopi — kadang pahit, kadang manis, tapi selalu harus diseduh dengan sabar. Ia tidak tahu sampai kapan bisa terus mendorong gerobak itu, tapi satu hal pasti: selama masih ada orang yang butuh secangkir kopi di pagi hari, ia akan terus berjuang.
Kisah Otong adalah potret kecil dari ribuan pekerja informal di ibu kota yang bertaruh hidup setiap hari. Mereka mungkin tak punya seragam, gaji tetap, atau jaminan sosial, tapi semangat mereka menjadi bahan bakar yang menjaga kehidupan kota tetap berjalan.

Cek Juga Artikel Dari Platform festajunina.site
